Dear Papa...

Setelah sekian lama blog ini terbengkalai, entah mendapat wangsit darimana untuk mengaktifkan kembali jiwa-jiwa menulis. Tepatnya tadi pagi, sebelum melakukan ritual jalan pagi ditengah-tengah suhu dingin 14 derajat celcius, dimana warga lokal disini bersiap untuk bekerja di kebun, mengamati setiap gerak langkahnya, demi mencari rupiah setiap harinya.

Well, 3 tahun lamanya gue nggak menulis setelah postingan sebelumnya "Dear Papa, Mama...". Things had changed. Perubahan signifikan terbesar yang gue alami sebelum gue umur 25, which is tahun ini. Tentang kehilangan Ayah, memulai kehidupan baru di tempat asing, mempertanyakan kembali tujuan hidup, meninggalkan semua privillege yang ada. Semuanya berubah, kembali ke awal, istilahnya.


Perubahan hidup gue dimulai dari sini.

Setelah 2019 lulus kuliah, gue mendapat kesempatan berkarier di salah satu IT company di Jakarta Pusat selama 1 tahun. Sebuah batu loncatan yang tidak pernah gue sesali, dunia yang gue cintai selain pertanian. Gue bersyukur bisa menjadi bagian disana, tentang gimana lu bertahan dalam tekanan, ngga manja, lu menyelesaikan kerjaan tanpa babibu wasweswos. 1 tahun yang indah bersama Jakarta. Tempat gue dilahirkan, dengan sejuta kenangan indah didalamnya.

Sebagai anak kota, gue dihadapkan dengan situasi yang serba cepat, yang menuntut lu untuk selalu ready dalam situasi apapun, mobile kesana kemari, time management yang ketat dan juga gampang banget burn-out. Percayalah, kerja kantoran melelahkan. Itu kesan pertama yang gue rasakan saat baru 1 bulan kerja. Bangun subuh, ngejar busway jurusan Lebak Bulus-Harmoni, sambung lagi naik MRT. Hampir setiap hari. Tentang mengejar mimpi, mengubah nasib keluarga supaya jauh lebih baik, ajang pembuktian sama diri sendiri kalo gue itu sebetulnya mampu dan mau berusaha.

Menjadi bagian dari hiruk pikuknya Jakarta, gue sudah sangat nyaman kerja disini. Gaji aman, tempat tinggal juga oke, kendaraan ada, mau kemana-mana ngga perlu mikir lama, liburan ayo, bisa pulang Magelang sebulan sekali. Privillege yang gue syukuri waktu itu. 

Yah, namanya juga hidup. This is temporary.

Semuanya sementara.

September 2020, papa meninggal. Gue satu-satunya orang yang melihat dia sampe nafas terakhirnya dengan bantuan oksigen. Berharap Papa bisa bertahan, namun itulah jalan yang sudah Tuhan gariskan buat keluarga gue. Rasa kehilangan yang sampe saat ini gue masih alami, nampaknya 5 stages of grieving masih belum tuntas gue lalui betul-betul. Tidak adanya lagi sosok Ayah dalam hidup gue, ngebuat semua mimpi dan harapan gue berantakan.

Gimana gue bertahan?
Mama sama adik gue gimana?
Gue harus mulai darimana?
Papa, Nona kangen banget.

Frase itulah yang sehari-hari muncul dipikiran gue, beberapa jam setelah Papa dinyatakan meninggal oleh dokter dinihari. Jam 12.10 WIB, gue duduk termenung di kursi ruang tunggu UGD. Pikiran gue nggak tau ngawang dimana, gue kehilangan fokus disaat sepupu-sepupu gue mulai berdatangan buat menenangkan gue. Air mata nggak berhenti mengalir, gue cuma bisa diem dan semrawut aja rasanya. Melihat kenyataan kalo Papa udah terbujur kaku, dibawa ke ruang mayat buat dimandikan dan dibawa ke Magelang dengan perjalanan darat.

Gue ada di mobil jenazah selama perjalanan darat Jakarta-Magelang selama 8 jam. Sepanjang perjalanan, tidak hentinya gue mengusap kepala Papa yang sudah ditutupi kain mayat. Patah hati banget dan gue seakan-akan menyalahkan Yang Kuasa atas meninggalnya Papa. "Kenapa sih secepat ini?", pikirku. Rasa menyesal, bersalah, menghantui perjalanan pada waktu itu. 

"Kita pulang ya Pa, Nona anterin sampe Papa sampe."

Kata-kata paling menyakitkan ketika seharusnya gue bisa pulang Magelang dengan keadaan sebagaimana mestinya, namun waktu itu tujuannya udah berbeda.

Papa udah ketemu sama adik bungsu gue yang udah lebih dulu meninggal 4 tahun sebelumnya.

Ini adalah tulisan gue setelah 7 hari Papa meninggal (diambil dari archive iPhone) :

Pa, udah 7 hari Nona nggak lihat Papa di rumah.
Hari ini, Nona pulang ke Jakarta sama Mama buat nemenin Nona disana.
Pagi ini, Nona nengokin Papa disini (kubur) dan lihat Papa dan Belen sebelahan aja rasanya melow banget. Kalian berdua lagi ngapain ya? Pasti Papa lagi lihatin Belen belajar motor kali ya.
Nona kangen banget.
Nona sayang Papa.
Apa yang bisa bikin Nona kuat ya tanpa Papa sekarang?
Cuma tinggal Mama sama Nathan sekarang disini, apa kira-kira Nona sanggup Pa?
Nona bersyukur Papa hadir didunia ini sebagai orangtuaku, terlepas dari segala kekurangan Papa sebagai orangtua, Nona bangga punya Papa yang selalu mengusahakan yang terbaik buat kami anak-anak dan keluarga.
Nona nggak bisa janji apa-apa buat Papa, namun yang pasti Nona berusaha supaya keluarga kita bisa jauh lebih baik, makan cukup, tidur ngga kehujanan, nggak berkekurangan.
Selalu dampingin Nona ya Pa, biar Papa cuma bisa lihat dari atas sana.
Sekarang, izinkan Nona meneruskan apa yang sudah Papa tinggalkan buat kami.
Teladan, pesan-pesan dan juga dedikasi.
Nona pulang ke Jakarta ya Pa, see you soon.

Magelang, 17 September 2020.

1,5 tahun lebih berlalu...

Meninggalkan Jakarta, berpisah dari Mama dan Nathan di Magelang, memulai kehidupan baru. Mengejar ambisi, cita-cita dan juga tujuan hidup yang berubah. Pekerjaan baru, lingkungan baru, budaya baru dan juga perspektif baru.

Everythings new.
Share:

0 comments:

Post a Comment