Ekspektasi

Kaya judul lagu Kunto Aji di album "Generation Y". tapi, pagi ini saya nggak akan bahas gimana lagunya, tetapi hanya sebagai judul aja. Kali ini saya mau cerita, tentang berbagai "ekspektasi" yang muncul dari kemarin, bahkan hari ini.
But first, saya akan kutip pengertian ekspektasi berikut:
harapan besar yang di bebankan pada sesuatu yang di anggap akan mampu membawa dampak yang baik atau lebih baik
Ekspektasi bukanlah sebuah harapan. Ekspektasi adalah kemungkinan yang bisa timbul dan dapat dihitung dengan sebuah metode kuantitatif,sedangkan harapan bukanlah sesuatu yang dapat dihitung dengan angka kuantitatif maupun dengan kuantitas doa yang anda lakukan.
Kurang lebih begitu yaa, itu pendapat random yang saya kutip. Seperti yang ada di kutipan yang kedua, ekspektasi tidak sama dengan harapan. Dan saya, berasumsi sampe sekarang kalau ekspektasi adalah sebuah harapan, jadi kalau ekspektasi nggak sama dengan realita, saya bisa bilang kalo itu adalah PHP (pemberi harapan palsu), itu yang jadi mindset saya hingga sampai hari ini. Sampai tulisan ini dibuat, saya terus berfikir, apa iya sih seperti itu adanya? Atau, saya harus merubah mindset saya tentang hal ini. Ah, yasudah.. Sambil mengalir saja, biarkan tulisan ini entah jadi ngelantur kemana, tapi sih nggak ada out of topic.
Jadi, pagi ini ekspektasi yang saya maksud adalah pada perasaan. Maksusnya begini, kebanyakan ekspektasi yang muncul bermula dari perasaan seseorang. Misal, ekspektasinya adalah kalau ketemu doi, kamu akan diajak ngobrol. Otomatis, perasaan kamu akan jadi beda, mood kamu akan lebih baik. Tapi, pada faktanya, si doi hanya berlalu begitu saja. Dan, setelah itu kamu akan jadi sedih, atau justru berprangsangka yang tidak-tidak.

Ilustrasi saya benar nggak ya? Atau kalian nggak ngerti juga?

Okelah, langsung ke inti cerita aja. Kali ini, yang akan saya jadikan objek cerita adalah kisah saya semasa saya SMA, tepatnya di tahun 2013-2015, saat itu duduk di kelas 2 dan 3.
Saya punya teman, yang sudah sekelas dengan saya 2 tahun lamanya. Kami bertemu pertama kali secara tidak sengaja, karena pada saat di kelas 1, kelas kami berdekatan, jadi setiap ujian semester, setiap pagi sebelum masuk, kami terlibat diskusi soal ataupun materi yang akan diujikan saat itu. Dia memang dikenal anak yang pintar dan juga mapan secara finansial, wajar dia adalah anak tentara. Anehnya, saya tidak tahu nama dia siapa, kami reflek saja langsung berdiskusi tentang materi. Setelah ujian semester berakhir, kami naik ke kelas 2.
Saya pun juga kaget, pas masuk kelas pertama kali, saya melihat dia tengah duduk di bangku depan. Pada alur yang ini, saya lupa giman kronologisnya, tetapi yang saya ingat adalah kami pun belum juga berkenalan, hanya berlalu gitu saja. Singkat cerita, entah apa yang membawa kami untuk duduk sebangku. Mengalir saja, kami mengobrol, kami bertukar pikiran, dan juga nggak canggung untuk saling mengajari satu sama lain. Tanpa berkenalan, akhirnya kami tahu siapa nama kami masing-masing, dan yaa begitulah.. Kehidupan kami saat itu berjalan biasa saja, layaknya anak SMA.
Hampir setiap hari kami bersama, setiap bel pulang berbunyi, kami selalu keluar kelas bersamaan, pernah juga sesekali kami pergi ke kedai makan bersama teman kami yang lain. Perlu diketahui, kami berdua menyukai beberapa hal yang sama, misal film dan juga teknologi. Tapi, untuk detailnya, kami ada di 2 dunia yang sangat berbeda. Dia sangat menyukai Japanese Culture, anime, genre film yang action, adventure, Sci-Fi dan saya menyukai genre film tertentu saja, semisal Animation, horror komedi, kurang lebih udah jelas banget perbedaannya. Kalau dari teknologi, dia sangat menyukai hampir setiap detail produk, dia lebih prefer ke barang china. Sedangkan saya, saya lebih mengamati kapasitas dan juga kegunaannya.
Sampai di kelas 3, kami tetaplah berteman. Kami ada di jurusan yang sama dan tetap sekelas dan bedanya, kami sudah tidak sebangku. Di kelas 3, tempat duduknya sudah model 1 orang, dengan tujuan untuk pembiasaan ujian akhir sekolah nantinya. Posisi kami saat itu menjadi depan belakang. Setiap hari kami selalu diskusi, ngomongin hal yang nggak penting, sampai bercandaan nggak jelas. Karena kedekatan kami yang selayaknya udah kaya udah pacaran (itu kata salah satu teman saya), jadi nggak heran kalau sebagian teman berkata kemungkinan kalian lama-lama pacaran. Sontak saja, saya kaget.

Ngomongin tentang pacaran, prinsip kami bisa dikatakan sejalan. Sebelum kami meninggalkan SMA, dia pernah bilang sama saya, kalau dia akan nggak akan pacaran dulu selama dia kuliah, tapi juga nggak menutup kemungkinan kalau suatu saat dia akan dapat gandengan juga. Kalau dari saya, hampir sama seperti dia. Tapi, papa saya memang sudah ngasih rambu-rambu untuk bisa mencari pacar, kalau mama saya menyarankan nanti saja kalau sudah kerja, sudah mapan, baru boleh cari jodoh, yang sekalian menikah.

Kemudian, kami lulus SMA. Teman - teman perlahan mencari hidup yang lebih baik, dan kami berdua udah terpisah. Saya tetap stay di Magelang dan dia berpindah di Yogyakarta. Kami kuliah dan menjalani serangkaian kegiatan. Beberapa bulan setelahnya, saya menyadari bahwa saya sangat kehilangan sosok seperti dia, seorang laki - laki yang sangat mendukung, pembawaaannya tenang kadang terlalu santai, kalo ngomong kadang suka nyeplos, tapi ngangenin. Benar lho, dai tipe orang seperti itu menurut saya, karena nggak mudah 2 tahun sama - sama, tahu kebiasaannya, tahu apa yang dia suka, tiba - tiba memang harus ada di jalan hidup masing - masing.

Saya membuat pengakuan sama sahabat saya, kalau saya mencintai dia. Saya meyakini peribahasa jawa yang berbunyi, "witing tresno jalaran saka kulina" itu benar adanya. Bagaimana tidak, setiap hari kami lalui sama - sama, layaknya teman biasa, tapi lama-lama tumbuh rasa sayang. Saya sempat berfikir, apa saya harus jujur sama dia tentang perasaan saya selama ini?

Atau lebih baik dipendam sendirian?
Berbagai pertanyaan muncul di kepala saya, apa bisa kami menjalin hubungan pacaran?
Sampai hari ini, sampai tulisan ini dibuat, saya terus memendam perasaan ini. Dan saya sadar, selama ini, setahun lamanya saya nggak jujur sama perasaan saya kepada dia. Saya berasumsi, saya yang terlalu kepedean, ber-ekspektasi tinggi sama dia, saya berpikir begini, kalau sudah sama - sama 2 tahun, bukannya lebih mudah untuk mengenal satu sama lain yah kalo udah pacaran? Saya berpikir demikian, saat itu. tapi, ya bagaimana. Nasi udah jadi bubur. Kini, saya memang sebisa mungkin melupakan dia dan semua kenangan di masa SMA. Saya kira, kenangan bersama dia udah nggak ada artinya lagi, saya hanya sebagai pelengkap saja di kehidupannya.

Dan saya menantang diri saya untuk bisa berkomunikasi dengan dia, kalau dia merespons, chattingan akan tetap dilanjutkan, kalau dirasa terlalu monotone, saya nggak akan membalas pesan dia, sekaligus itu akan jadi momen "perpisahan" perasaan saya terhadap dia. Saya akan sepenuhnya move on dari dia, dari perasaan yang udah menggantung selama ini. Dan tadi malam, saya memulainya. Bermodal wifi dan juga iPod jadul, saya membuka percakapan dengan intrik minta referensi jurnal. Beberapa menit setelahnya, dia membalas pesan saya. Seperti biasa, singkat. Dia selalu membalas pesan dengan singkat. Udah nggak heran lagi saya. Pembicaraan berlanjut tentang kehidupan kuliah masing - masing, dia cerita bagaimana disana, saya juga demikian. Saya nggak punya nyali untuk "mengetuk" masa setahun lalu, tepat kami masih kelas 3 dan sedang persiapan untuk kelulusan. Saya udah nggak berharap lagi, toh kalau saya mengungkapkan perasaan saya, saya menduga kalau dia kan menganggap kalau dia hanya menjadikan saya sebagai teman. Tidak lebih.

Apa yang terjadi semalam, akan jadi pertanda kalau saya akan stop mengharapkan dia kembali. Perasaan ini saya namakan cinta datang terlambat dan nggak akan pernah dia tahu yang sesungguhnya gimana perasaan saya yang udah saya pendam dan saya nggak punya nyali untuk ngomong sama dia. Dan maka dari itu, saya memberanikan diri untuk menulis disini, karena saya rasa, akan jadi plong rasanya. Toh dia nggak tahu kalau saya punya blog pribadi, jadi sah - sah saja kalau untuk mengungkapkan perasaan.
Dear M, terimakasih telah menjadi pemanis dalam  perjalanan hidup saya semasa SMA dahulu. Saya tidak akan merasa seperti ini kalau tidak ada kamu. Saya belajar banyak hal dari kamu, bagaimana saya harus bersikap, mengontrol emosi saya dan juga nggak semaunya sendiri. Saya belajar dari kamu untuk nggak sombong dan juga tetap down-to-earth. Perasaan saya yang telah terpendam kepadamu hanyalah sebuah ekspektasi kalau nantinya kita bisa bersama setelah lulus, tetapi memang jalan Tuhan lah yang harus memisahkan kita. Saya paham, kamu adalah tipe cowok yang tidak selamanya akan peka dengan perasaan, kamu nggak selamanya respect dengan orang sekitar, kamu adalah tipe orang yang cuek, dan sekalinya kamu bertemu dengan dunia barumu, semua hal dilupakan. Saya tidak akan bisa membayangkan, apabila saya mengungkapkan seluruh perasaan saya kepada kamu. Saya tidak mau membodohi diri saya sendiri, saya mengerti kalau jalan kita sudah berbeda. Kini, kita hanyalah sebatas teman SMA saja. Tidak lebih. Saya mendoakan kamu selalu sukses dalam kuliah, sehat terus dan juga bisa meraih apa yang menjadi impianmu.
Dari teman SMA,
 
Share: